Rabu, 23 Maret 2016

Baylassen, si Bunga Putih dari Tunisia


Baby Baylassen, si bunga putih


Megah, metropolitan, kaya, keren, itulah sederet kata yang setidaknya sangat sepadan jika disandingkan  dengan kota Dubai.  Kota kecil yang dihiasi  lebih dari 95  mall, ratusan hotel dan restaurant kelas dunia yang hampir semuanya masuk kategori mewah. Belum lagi di setiap ruas  jalanan selalu berdesakan mobil-mobil mewah dari yang terbaru dan berharga selangit. Semua menggambarkan kehidupan yang serba enak dan nyaman.

Namun, apa benar semua perantau yang mengadu nasib di Dubai bisa merasakan segala kenyamanan tersebut? Apa benar sudah tidak ada orang yang merasa hidupnya susah setelah tinggal di Dubai?

Ternyata tidak. 
Nadia dan keluarganya adalah salah satu contoh mereka yang harus merasakan hidup keras di negeri padang pasir ini. Bahkan, ia sudah menyatakan siap untuk kembali lagi ke negaranya jika kondisinya tidak bisa membaik.

Mereka adalah keluarga yang berasal dari Tunisia. Merantau ke Dubai dengan harapan akan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Awal kedatangannya, Nadia berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah salon kecantikan sesuai keahliannya. Sementara suaminya bekerja sebagai sopir di sebuah perusahaan.

Tetapi itu tidak berjalan lama. Seiring kehamilan kedua Nadia yang semakin besar, salon tempatnya bekerja memberhentikannya. Meskipun berat, mereka masih bisa bertahan dengan mengandalkan gaji dari suaminya saja. Walaupun untuk itu mereka harus rela tinggal di sebuah apartemen yang sangat menyedihkan kondisinya. Lingkungan yang sebenarnya kurang baik bagi pertumbuhan anak pertama Nadia yang hampir berusia 2 tahun.

Masalah berat benar-benar muncul ketika sebulan sebelum hari melahirkan tiba, suaminya, satu-satunya penopang kehidupan keluarga harus kehilangan pekerjannya. Sementara itu, jangankan untuk menabung, untuk biaya hidup saja mereka serba pas-pasan. Padahal, biaya melahirkan di sini bukanlah hal yang bisa dianggap enteng. Diperlukan beberapa ribu dirhams untuk bisa melahirkan di sebuah rumah sakit di Dubai. Jumlah yang mungkin dua atau tiga kali lipat dari gaji suami Nadia tiap bulannya.

Nadia dengan bunga tanda kebahagiannya

Tuhan memang Maha Melihat dan Maha Mendengar. Saat harapan berpacu dalam derai air mata.  Lewat seorang teman, Dia menunjukkan penderitaan Nadia yang sangat membutuhkan bantuan. Maka, dengan gerak cepat dan keikhlasan teman-teman Indonesia yang ada di Dubai, akhirnya Nadia bisa melahirkan dengan selamat tanpa perlu memikirkan biaya lagi. Dia juga bisa sedikit bernapas lega, karena  seminggu sebelum melahirkan, suami tercinta akhirnya bisa mendapatkan sebuah pekerjaan baru, meskipun tidak lebih baik dari pekerjaan yang dulu.


Nadia menggendong anak pertamanya


Baylassen, itulah nama bayi perempuan mungil yang lahir pada tanggal 16 Pebruari 2016 lalu pada pukul 11 siang. Menurut Nadia, Baylassen berarti bunga putih. Nama yang sangat cocok untuk bayi cantik berkulit putih yang lahir dengan berat 3 kilogram itu. Semoga bayi Baylassen membawa berkah dan banyak rejeki bagi orang tuanya. 

Lewat baby Baylassen,kami diberi kesempatan untuk berbagi

Cerita tentang Nadia dan keluarganya ini seakan menjadi pengingat bagi diri saya sendiri, untuk selalu bersyukur. Ternyata, meskipun tinggal di negara yang makmur ini, kami masih diberiNya kesempatan untuk saling berbagi.

Selasa, 08 Maret 2016

Telepon Terakhir Ibu





            Tidak ada yang istimewa hari itu, tepat  sembilan tahun yang lalu, meskipun hari itu adalah hari ulang tahunku. Setelah meniup lilin kecil di atas kue ulang tahun yang sederhana, hanya ucapan syukur yang mampu keluar dari bibirku atas segala rahmatNya. Aku begitu bahagia dengan perhatian dari suami dan kedua anakku yang telah mempersiapkan acara tiup lilin malam itu. Memang, begitulah tradisi keluarga kecilku setiap ada yang berulang tahun. Meniup lilin dan saling mendoakan.

              Tetapi khusus buatku, ada kebiasaan lain yang selalu mewarnai hari ulang tahunku. Hadiah istimewa yang selalu kutunggu-tunggu, terlebih setelah aku berumah tangga. Hadiah itu adalah telepon dari ibuku. Aku selalu menunggu ibuku mengucapkan kata selamat ulang tahun lalu mendengarkan banyak doa-doa indah yang ditujukan untukku. Seperti layaknya anak kecil yang mendapat mainan baru, begitulah aku. Selalu berbunga-bunga setiap kali mendengar ucapan yang keluar dari bibir ibuku.

            Tepat sebelum aku mematikan lampu kamar untuk beranjak tidur, akhirnya aku mendengar telepon yang aku letakkan dekat telivisi itu berbunyi. Tanpa membuang waktu, aku langsung menyambarnya dan seperti yang sudah kuduga, itu adalah telepon dari ibu.

Bunga putih, seputih kasih  ibu


           “Selamat ulang tahun, ya, Mbak,” terdengar suara lembut ibuku diseberang telepon. Inilah yang selalu kunantikan, kado terindahku setiap tahun. Selalu dan selalu begitulah ucapan ibu. Ibuku selalu memanggilku ‘mbak’, meskipun aku anak bungsu di keluargaku. Gara-garanya sewaktu kecil aku pernah menangis hanya karena ingin dipanggil mbak seperti kakakku.

            “Semoga, Mbak, jadi wanita yang kuat. Dan, tolong jaga anak-anak, ya, cucu-cucu ibu,” aku terkesima mendengarnya. Ini adalah ucapan ibu yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Baik saat aku berulang tahun maupun pada saat telepon sehari-hari. Aku sangat terharu hingga tidak terasa pipiku sudah basah oleh butiran air mata.

            Lama kami berbincang di telepon. Selain melepas rindu, ibu juga memberiku sebuah kejutan yang lain. Ibu berjanji akan mengunjungiku dua minggu lagi. Kami memang tinggal berbeda kota dengan jarak kurang lebih 650 kilometer. Tetapi setiap enam bulan sekali kami akan saling mengunjungi. Jika bulan ini orang tuaku yang mengunjungiku, maka enam bulan berikutnya aku dan keluargaku yang akan menengoknya.

        Bulan depan memang jadwalnya ayah dan ibuku yang mengunjungi. Tetapi aku tidak menyangka kalau ibu akan memajukannya menjadi dua minggu lagi. Sebelum akhirnya ibu menutup telepon, kami sudah menyusun rencana apa saja yang nanti akan kami lakukan saat ibu datang. Memasak, berbelanja, jalan-jalan adalah kegiatan rutin kami saat bertemu. Tak sabar rasanya menunggu dua minggu lagi.

***


Kriiing…

            Aku bangun sambil melirik jam di dinding. Siapa malam-malam begini telepon, tanyaku dalam hati. Aku angkat telepon pelan-pelan dan mulai melemparkan kata sambutan di telepon seperti pada umumnya.

            “Siapa…?” teriakku lantang. Sampai-sampai suamiku yang dari tadi tidak terbangun oleh bunyi telepon, langsung beranjak dan menghambur ke arahku.

            “Bunda, ada apa?” tanya suamiku cemas. Aku sudah tidak bisa menjawabnya lagi. Suaraku sudah berubah menjadi isakan yang tak terkendali. Akhirnya suamiku mengambil alih gagang telepon dan meneruskan pembicaraan di telepon.

            Entah apa yang dibicarakan, aku sudah tidak dapat mendengarnya lagi. Aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya. Aku tidak dapat menerima berita yang baru saja aku dengar. Meskipun suamiku terus menenangkanku, tetapi aku sudah terlanjur tidak bisa berpikir jernih lagi. Aku marah, kecewa, menyesal dan tidak terima. Semalaman aku tidak bisa memejamkan mata walau hanya sebelah, begitu juga dengan air mataku seperti tidak pernah akan bisa kering.

            Keesokan harinya, dengan penerbangan pertama kami meninggalkan kotaku saat kabut putih belum tersentuh matahari. Badanku lemas karena semalam aku terus terjaga. Kepalaku juga terasa pening berputar-putar seperti gempa bumi. Sudah berkali-kali aku melakukan perjalanan pulang seperti ini, tetapi rasanya ini adalah perjalanan terlama yang pernah aku lalui.

            Aku tiba di rumah masa kecilku setelah orang-orang selesai melaksanakan ibadah shalat Jumat. Bergegas aku memasuki rumah dan disambut dengan dekapan erat dari ayah dan kedua kakakku.

          “Ibu dimana?” bisikku pelan seakan aku takut suaraku akan membangunkan ibuku. Ayahku lalu menuntunku masuk ke dalam rumah dan kulihat ibu ada di sana. Aku langsung bersimpuh disebelah ibu. Kulihat wajah ibu tersenyum sangat manis tanpa ada tanda-tanda kesakitan sedikitpun.

           “Ibu, aku sudah datang,” ucapku tetap lirih hampir tak terdengar bahkan oleh telingaku sendiri.
“Tapi kenapa harus sekarang, Bu? Bukankah tinggal seminggu lagi ibu berjanji akan menengok kami?” aku kecup kening ibu dengan penuh sayang.

         “Padahal, Bu, aku sudah minta ijin ke ayahnya anak-anak untuk meminjam mobilnya selama ibu di rumahku nanti. Aku akan ajak ibu jalan. Kita ke pasar, ya, Bu,” aku lempar senyumku ke ibuku.

           “Aku juga sudah belanja bahan-bahan kue yang akan kita praktekkan itu. Kan, Ibu sendiri yang bilang waktu aku ulang tahun, kalau ibu ingin membuatnya.” Kuusap lagi air mataku sambil membetulkan letak dudukku.

             “Tinggal seminggu lagi, Bu, dan kita bisa mewujudkan rencana-rencana kita yang lain seperti yang kita bahas di telepon waktu itu,” kukecup lagi ibu, aku merasa emosiku sedikit beriak.

             “Mengapa Ibu tidak menunggu sebentar saja lagi?” tangisku mulai tak terkendali. Sebenarnya aku berharap ada sedikit jawaban dari bibir ibu. Namun, sampai kedua kakakku memapahku masuk ke dalam kamar masa kecilku, ibu tetap tidak menjawab. Ibu tetap tersenyum dalam wajah pucatnya.

***

Hari Minggu tepat dua minggu setelah ulang tahunku.

            Hari itu adalah hari yang telah dijanjikan oleh ibu. Hari itu seharusnya ibu datang untuk menengokku. Dari pagi aku sudah siap. Anak-anak sudah mandi dan berganti dengan baju yang biasa dipakai untuk jalan-jalan. Meskipun agak heran, tetapi suamiku tetap pergi mandi juga seperti saranku. Biasanya hari Minggu seperti ini, suamiku paling malas untuk mandi pagi-pagi. Tidak sampai satu jam, dan semuanya sudah siap.

            “Bunda, ada apa sebenarnya? Mengapa kita harus berdandan rapi begini pagi-pagi, hari Minggu pula,” tanya suamiku akhirnya.

            “Kita mau jalan-jalan ke luar kota, ya, Bun?” tanya sulungku girang. Sementara aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

            “Kalian lupa, ya? Kan, hari ini Eyang mau datang?” ucapku tenang.

         “Bunda…,” suara lembut suamiku menyentak otak bawah sadarku. Aku terpaku sambil berusaha mencerna keadaan. Suami dan kedua anakku begitu tegang menatapku. Sedetik kemudian aku baru tersadar seiring luapan air mataku. Aku menyebut asmaNya. Dengan cekatan suami dan kedua anakku langsung memelukku dan menenangkanku. Badanku berguncang, air mataku sudah tak dapat terbendung lagi.

            “Sudahlah, Bun. Ibu sudah tenang disana. Bunda harus ikhlas agar lapang jalan ibu menuju surga,” suara suamiku sayup-sayup masuk ke lubang telingaku dan menyadarkanku dengan kenyataan yang ada. Kenyataan kalau ibu sudah tidak akan pernah lagi menengok kami. Ibu tidak akan pernah datang lagi.



Oh, Bunda…
Ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku
                                                          (Melly Guslow)





Senin, 15 Februari 2016

"Terdampar" di Dubai


Dubai adalah kota yang sejak lima tahun terakhir ini banyak dibicarakan orang di seluruh dunia. Hal ini terbukti ketika akhir tahun lalu, Google menyatakan Dubai sebagai kota yang paling banyak dicari informasinya di mesin pintar tersebut. Wisatawan seperti tumpah ruah di kota ini. Bayangkan saja, pada tahun 2014 wisatawan yang berkunjung ke Dubai lebih dari 13 juta orang. Angka ini lebih dari 5 kali jumlah penduduk Dubai sendiri.


Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia yang banyak menyedot wisatawan

Menikmati segala pesona wisata yang ditawarkan Dubai, tentu menjadi kenangan indah bagi mereka yang memang datang untuk berlibur. Namun, bagaimana jika singgah di kota yang terletak di atas gurun pasir ini bukan untuk berwisata atau berlibur tetapi karena “terdampar”? Ya, inilah yang dialami oleh ibu Parmi (65 tahun) dan Asih, putrinya yang berasal dari kota Purworejo, Jawa Tengah.

Ibu Parmi dan putrinya adalah jamaah umroh yang telah selesai menjalankan ibadah di kota Mekah. Tapi sayang, ibu 6 anak ini sudah merasa kurang sehat saat masih berada di Mekah. Hal ini dipicu karena beliau lebih memilih menahan lapar daripada makan makanan yang tidak sesuai dengan  seleranya. Belum lagi udara dingin di kota suci membuatnya agak malas meneguk air minum.

Demam, batuk dan sesak napas adalah keluhan utamanya. Hingga tiba waktu untuk kembali ke tanah air, ketika perjalanan dari Mekah ke Dubai, kondisi ibu Parmi benar-benar menurun. Saat transit di Dubai, akhirnya pihak maskapai tidak mengijinkannya untuk melanjutkan perjalanan sesuai prosedur penerbangan.

Tanpa didampingi seorangpun dari agen travel yang membawa rombongannya, ibu anak ini dibawa ke rumah sakit pemerintah, Dubai Hospital, oleh petugas maskapai penerbangan yang ditumpanginya dari Mekah. Ibu Parmi harus menjalani rawat inap. Situasi ini menjadi kondisi tersulit bagi keduanya.

Saat masih di Dubai Hospital

Sakit di negara orang tanpa kenal seorangpun, ditambah kendala bahasa memaksa keduanya untuk pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Sungguh sebuah situasi sulit yang tidak terbayangkan. Bahkan, Asih baru bisa mendapat makan setelah sehari tinggal di rumah sakit. Akhirnya setelah satu kali 24 jam, seorang teman Indonesia yang berprofesi sebagai tour guide di Dubai mendapat telepon dari travel yang memberangkatkan keduanya. Pihak travel memberitahu  tentang keberadaan mereka dan meminta tolong untuk mendampinginya selama di Dubai.


Situasi sedikit membaik karena kami, teman-teman Indonesia yang tinggal di Dubai, segera mendengar kabar ini. Setiap hari kami selalu menyempatkan waktu untuk menjenguk ibu Parmi. Begitu juga dengan memenuhi beberapa kebutuhan Asih, mengingat mereka hanya membawa tas kecil masing-masing. Sementara semua barang mereka tetap berada di dalam pesawat yang mereka tumpangi dari Mekah dan sudah sampai di tanah air terlebih dahulu.


Kunjungan teman Indonesia adalah obat ampuh untuk ibu Parmi

Sembilan hari “terdampar” di Dubai bukanlah waktu yang singkat buat keduanya, terutama buat ibu Parmi. Hari-hari selalu dilewati dengan linangan air mata lantaran merasa tidak betah tinggal di rumah sakit dan ingin cepat pulang. Sementara bagi Asih, setiap hari diisi dengan rayuan kepada ibundanya agar bisa sedikit bersabar. Maka, tiada hal yang menggembirakan ketika melihat mereka akhirnya bisa tersenyum bahagia saat di bandara udara Dubai untuk kembali ke tanah air.

Senyum bahagia di bandara Dubai sesaat sebelum pulang

Dua sahabat luar biasa yang banyak membantu mereka selama di Dubai

Semoga pengalaman seperti ini hanya terjadi pada ibu Parmi dan Asih saja. Penting bagi jamaah yang akan menunaikan ibadah ke tanah suci untuk menjaga betul kesehatannya. Baik sebelum berangkat maupun selama menjalankan ibadah. Dan, semoga ibu Parmi juga selalu dilimpahkan kesehatan sesampainya di tanah air.